TEMPO.CO, Bangkalan--Penampilannya
jauh dari elegan. Celana pendek sedengkul dan baju koko agak kusam
seolah pakaian favoritnya. Tak seorang pun bakal mengira, Mat Tilyas, 60
tahun, punya kemampuan yang tak biasa: pawang hujan.
Rabu 16 Januari 2013 sore, di rumahnya yang sederhana dan asri, di
Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, bapak dua anak ini
sedang mengobati anak kecil yang terus nangis meronta-ronta karena sakit
gigi. "Ngobatin sakit gigi juga, pijat juga," katanya kepada tempo.co menjelaskan dua keahlian lain selain pawang hujan.
Setelah sang pasien pulang, Tilyas pergi sejenak, sejurus kemudian
datang membawa sebuah sapu lidi. "Ini bisa jadi "alat" pengalih hujan,"
tuturnya sambil tersenyum. Memang kurang bisa diterima akal sehat, tapi
itulah misteri keyakinan seorang pawang hujan. Selain sapu lidi, Tilyas
menajurkan sarang semut pohon hingga celana kolor wanita bisa dijadikan
alat pengalih hujan. "Benda apa pun bisa jadi "alat".
Bagaimana sapu lidi bisa menunda hujan? Menurut Tilyas, sapu lidi
tentu tidak bisa menunda hujan. Yang diperlukan seorang pawang adalah
ritual yaitu memperbanyak zikir dan berdoa kepala tuhan yang maha esa.
Tapi, doa dan dzikir ini tidak bertuah, jika sang pemohon tidak yakin
kepada pawangnya. "Kalau pemohon tidak yakin, tidak akan berhasil, harus
yakin, itu kuncinya," katanya lagi.
Ilmu pawang hujan Tilyas didapat dengan belajar. Mulanya berawal dari
kegiatannya di teater desa. Tilyas belajar ilmu gendam khusus menarik
banyak penonton datang menonton pertunjukannya. Dari ilmu gendam inilah,
berkembang ke pawang hujan, memijat pakai tenaga dalam hingga mengobati
sakit gigi pakai air putih. Agar ilmunya ampuh, seorang pawang harus
melatih kebatinan dengan beribadah. "Walau baca surat fatihah, tapai
kalau hati bersih, pasti jadi mantra yang ampuh," jelasnya.
Di musim hujan seperti saat ini. Jasa Mat Tilyas memang sangat
dibutuhkan terutama untuk acara selamatan yang mengundang banyak orang.
Jika sedang menangani pasien hujan, mat Tilyas tidak keluar rumah hingga
acara di rumah pasiennya selesai. Dia akan terus memanjatkan doa kepada
yang maha kuasa. Dia juga akan meminta sang pemohon tidak mandi
seharian penuh serta menyalakan dupa. Dupa tidak boleh mati hingga
hajatannya selesai. "Hati pawang itu harus bersih, tidak boleh sombong
apalagi takabur," katanya.
Soal tarif pawang, tidak ada patokan. Tapi tilyas selalu membiasakan
diri menerima bayaran di belakang setelah hajatan sukses. Upah yang
diterimanya bervariasi antara Rp 50 hingga 100 perorang. "Kalau sukses
saya terima dibayar, kalau gagal tidak perlu bayar," ungkapnya.
Meski begitu, Tilyas tidak mau menjadikan keahliannya ini sebagai
sumber mata pencaharian utama. Sebab itu dia juga menjadi tukang pijat,
mengobati sakit gigi, bertani hingga menjadi kuli. "Kalau ngandalkan
upah pawang, tidak cukup, hanya sampingan saja," katanya.
Menurut Tilyas, semua orang bisa menjadi pawang hujan. Hal ini
sejalan dengan yang dialami Halimatus, 25 tahun. Warga Desa Jekan,
Kecamatan Socah. Dalam dunia pawang, anak pertama dipercaya punya
kemampuan otomatis menjadi pawang. Halimatus sudah membuktikannya.
Ketika menikah pada 2006 silam, bertepatan dengan musim hujan. Agar
tamu undangan tetap datang, ibunya memintanya melempar celana dalamnya
ke atap rumah dan ajaib mendung mendadak sirna, hujan baru turun setelah
acar selesai. "Saya tidak boleh mandi seharian, saya juga berdoa dalam
hati setiap saat," katanya kepada Tempo.
Keberhasilan menunda hujan pertama kalinya itu, membuat halimahtus
banyak tetamu. Namun dia menolak. "Saya hanya mau gunakan keahlian ini
untuk hajatan keluarga sendiri," ucap wanita dua anak ini. Simak berita unik lainnya.